Selasa, 17 SEPTEMBER 2024 • 10:33 WIB

6 Mitos dan Fakta Seputar Asupan Protein untuk Pemulihan Cedera: Apa Saja?

Author

Mengurangi risiko cedera (freepik.com)

INDOZONE.ID - Asupan protein memainkan peran penting dalam pemulihan cedera. Akan tetapi, banyak mitos beredar mengenai bagaimana dan berapa banyak protein yang dibutuhkan untuk pulih dari cedera. 

Le Roux Malan yang dibawa oleh tim medis usai mengalami cedera parah.

6 Mitos dan Fakta Seputar Asupan Protein untuk Pemulihan Cedera

1. Makin Banyak Protein, Makin Baik untuk Pemulihan Cedera

Protein penting untuk proses pemulihan. Akan tetapi, konsumsi protein berlebihan tidak selalu menghasilkan manfaat tambahan. 

Tubuh memerlukan protein dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki jaringan rusak dan membangun kembali otot. Akan tetapi, lebih banyak tidak selalu lebih baik. 

Kebutuhan protein ideal tergantung pada jenis cedera, tingkat aktivitas, dan kebutuhan individu. Umumnya, asupan protein sekitar 1,2 hingga 2,0 gram per kilogram berat badan per hari, sudah cukup untuk mendukung pemulihan.

2. Hanya Protein Hewani yang Efektif untuk Pemulihan

Protein dari berbagai sumber, baik hewani maupun nabati, dapat mendukung pemulihan cedera. Sumber protein hewani, seperti daging, ikan, dan telur, mengandung semua asam amino esensial.

Baca Juga: Meski Pecahkan Rekor Pribadi, Ni Nengah Widiasih Gagal Raih Medali karena Cedera

Sementara itu, protein nabati, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan produk kedelai, juga dapat memberikan manfaat serupa bila dikombinasikan dengan benar. 

Penting untuk menciptakan pola makan seimbang dengan berbagai sumber protein, untuk memastikan asupan asam amino yang lengkap.

3. Asupan Protein Harus Dilakukan Segera Setelah Cedera

Meskipun asupan protein penting untuk pemulihan, waktu konsumsi tidak harus segera setelah cedera. 

Terhenti di Malaysia Open 2023 Akibat Cedera, Siti Fadia Silva Pakai Sepatu Robot! (Instagram/@enghian)

Penelitian menunjukkan, bahwa asupan protein dalam jangka waktu 24 jam setelah cedera atau latihan intensif lebih penting, daripada waktu tepatnya. Fokus pada asupan protein secara konsisten dalam diet harian, adalah yang utama.

4. Suplemen Protein Lebih Baik Daripada Makanan Utuh"

Suplemen protein, seperti whey atau casein, dapat menjadi tambahan yang berguna. Akan tetapi, makanan utuh tetap merupakan sumber terbaik untuk protein dan nutrisi lainnya. 

Baca Juga: Baru Sembuh Cedera, Kevin Durant Jadi Pahlawan USA di Laga Pertamanya

Makanan utuh menyediakan berbagai vitamin, mineral, dan nutrisi tambahan yang penting untuk pemulihan. Suplemen protein sebaiknya digunakan untuk melengkapi diet, bukan menggantikan makanan utuh.

5. Konsumsi Protein yang Tinggi Akan Menghindari Kerusakan Otot

Meskipun protein membantu memperbaiki dan membangun kembali otot, konsumsi protein yang tinggi tidak serta-merta menghindari kerusakan otot. 

Faktor-faktor lain, seperti intensitas latihan, istirahat, dan manajemen stres, juga memainkan peran penting dalam pemulihan otot. Protein adalah salah satu komponen dari pemulihan, tetapi bukan satu-satunya.

6. Asupan Protein Hanya Penting Selama Pemulihan Cedera

Asupan protein penting tidak hanya selama pemulihan cedera, tetapi juga untuk pencegahan cedera dan kesehatan jangka panjang. 

Protein mendukung kekuatan otot dan kesehatan jaringan yang penting, untuk mencegah cedera di masa depan. Menjaga asupan protein yang seimbang sepanjang waktu, adalah kunci kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Baca Juga: Meski Masih Cedera, Kevin Durant Tetap Jadi Bagian Timnas Basket Amerika Serikat di Olimpiade 2024

Asupan protein adalah bagian penting dari pemulihan cedera, tetapi ada banyak mitos yang perlu diluruskan. 

Konsumsi protein dalam jumlah sesuai, dari berbagai sumber, dan dalam konteks diet seimbang, adalah kunci untuk mendukung proses pemulihan yang efektif. 

Memahami fakta-fakta ini, dapat membantu kamu membuat keputusan yang lebih baik, mengenai kebutuhan protein mereka setelah cedera.


Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Mayo Clinic, National Institutes Of Health (NIH), Harvard T.H. Chan School Of Public Health